Senin, 16 Maret 2015

cerita ojek payung

Musim hujan sudah lama datang, bukan pemandangan yang asing lagi tatkala hujan melihat bocah kecil berlarian dengan menggenggam payung. Mereka tidak sedang bermain hujan hujanan layaknya yang kita lakukan dijaman dahulu, mereka sedang meraup pundi dengan jalan menyewakan payungnya pada pengunjung di tempat yang ramai, biasanya mall, restoran atau tempat ibadah. Dari dulu saya selalu mengabaikan mereka karna berpikir itu hal yang biasa saja. Tapi kemarin saya melihat pemandangan yang menggelitik hati. Di depan restoran tempat kami makan, saya melihat seorang bocah laki laki sedang bermain dengan payungnya, dia seolah enggan melakukan pekerjaannya, tapi teman temannya terus menerus memanggilnya. Alih alih menghampiri temannya, bocah itu justru ngumpet di balik pohon, ada apa ? Saya terus bertanya tanya hingga tanpa sadar sudah berjalan keluar restoran, menghampiri anak tersebut dan mengajaknya ngobrol.
Namanya angga, kelas tiga sd di perkampungan sekitar restoran ini, dia begitu lugu dan jujur, ketika saya tanya kenapa ngumpet, dia bilang dia takut ketahuan ibunya yang bekerja di restoran sebelah. Saya jadi menyimpulkan kalau angga ga izin sama ibunya untuk melakukan pekerjaan ini, lalu saya tanya kalo takut kenapa kerja begini, katanya dia pengen punya sepatu baru kaya punya temennya, temennya kerja beginian bisa beli barang yang bagus. Oalah, nak, aku jadi sedih :(
Hujan sempat deras sebentar, kulihat anak anak yang lain sudah bolak balik nganterin pelanggan jasa ojek payungnya. Melihat mereka membiarkan tubuhnya kuyup demi dua ribu sampai lima tibu rupiah rasanya sungguh menyayat hati. Apalagi saat melihat seorang ibu sedang menyewa payungnya sambil menggendong putrinya yang bernyanyi riang, sementara si ojek payung merangkul tubuhnya sendiri karna air hujan terlihat menerpa tubuh cekingnya. Dia tertunduk dan terus mengikuti sang penyewa, hatiku ngilu melihatnya.
Saat hujan kembali reda, angga kembali ke tempat semula, kali ini dia sumringah, disampingnya ada bocah sebayanya, mereka semangat meluruskan uang kertas yang layu karna basah, sambil bercanda dengan riangnya. Aku kembali bertanya pada angga, kenapa kok ga pake sandal ? Dia bilang kalo sandalan nanyi sandalnya bisa putus kena lumpur, dia ga mau diomelin ibunya karna mutusin sandal jepitnya. Dia pun memperlihatkan sandal jepit yang dibungkus plastik dan disimpan di balik bajunya. Belum sempat nanya nanya banyak mas abhi sudah rewel minta nyusu, jadi saya buru buru kedalam dan larut dalam pertanyaan yang tak sempat ditanyakan.
Dulu saya pun harus menjadi loper koran demi menyambung hidup dan demi uang jajan disekolah, tapi saya masih memikirkan kondisi kesehatan dan kenyamanan, tapi anak anak tadi sungguh tak memikirkan bagaimana jika mereka sakit nanti. Bagaimana jika mereka tak bisa sekolah karna sakit ?. Ahh, sudahlah, mungkin mereka punya alasan tersendiri melakukannya, saya berharap anak bangsa kita mendapatkan hidup yang lebih alayak lagi, karna mereka lah pondasi negara ini, saat pondasinya tidak kokoh, bangsa ini akan mudah jatuh dan luruh.

Tulisan ini hanya sebagai curhatan saya, sedih dan bingung mendem ini sendirian dari kemarin. Kalo ada yang ga berkenan saya mohon maaf.

2 komentar:

  1. Kadang, tidak semua orang memiliki naluri seperti kita mbak yang cepat sekali iba, yah semoga saja semakin banyak lahan pekerjaan dan semakin murah pendidikan di INdonesia agar semua kalangan bisa sekolah :)

    BalasHapus
  2. Iya mba, beberapa orang kadang punya sisi yang kadang kita ga ngerti. Entah kita yang terlalu mudah iba, atau yg lainnya susah untuk iba. Aamiin, aamiin. I hope so

    BalasHapus

Windah Saputro. Diberdayakan oleh Blogger.